PHOBIA MODERN

Pernahkah anda merasa takut? Sebagai manusia, ketakutan adalah hal yang tak terhindarkan. Ketakutan adalah respon penting terhadap bahaya fisik dan emosional – jika kita tidak merasakannya, kita tidak bisa melindungi diri dari ancaman yang nyata. Tetapi bagaimana jika rasa takut itu tidak rasional? Misalnya anda merasakan ketakutan ekstrem terhadap ketinggian atau laba-laba. Apakah itu mengganggu atau mungkin menyiksa? Nah jika salah satu dari anda pernah merasakan ketakutan irasional mendalam yang persisten dan hadir selama lebih dari enam bulan maka mungkin itu fobia. Yang saya maksudkan dengan ketakutan irasional adalah ketakutan terhadap hal-hal yang tidak mengancam, hewan atau kondisi parah sehingga menyebabkan kecemasan luar biasa dan mengganggu kehidupan normal anda. Mungkin anda sudah tahu tentang satu atau dua jenis fobia umum di masyarakat kita. Tetapi bagaimana dengan fobia modern? Sebagai efek dari kehidupan masyarakat modern kita. Berikut adalah daftar fobia m

DANUR : I Can See Ghosts (2017) : Sebuah Tinjauan Psikologis mengenai Imaginary Friend/Teman Imajiner

Udah pada nonton DANUR yang lagi heitzz ini?. DANUR berhasil mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai film horor dengan penonton terbanyak. Jadi, tidak ada salahnya bukan untuk mengupas lebih dalam film ini terlebih karena memang ada sesuatu yang bisa kita lihat dari sudut pandang Psikologis. 

SINOPSIS : 

DANUR ialah sebuah film horor Indonesia yang diangkat dari sebuah kisah nyata yang dialami oleh seorang gadis bernama Risa Saraswati. Dalam film ini, Prilly Latuconsina berperan sebagai Risa, yang sewaktu kecil sudah kesepian. Ayahnya bekerja di luar negeri sedangkan ibunya sibuk mengurus neneknya yang dirawat di rumah sakit dan bekerja sebagai pelayan masyarakat. Jadi, Risa kecil menghabiskan sebagian besar libur sekolahnya sendirian di rumah besar neneknya. Di hari ulang tahunnya yang ke-8, Risa dengan polosnya  meminta seorang teman agar ia tidak kesepian lagi. Begitu lilin ditiup, ia mendengar seorang anak bernyanyi kecil. Malam itu, Risa kecil bertemu 3 anak lelaki Belanda yang sedang bermain petak umpet di lemari neneknya. Mereka memperkenalkan dirinya sebagai Peter, William dan Janshen.

Selang beberapa waktu, Elly, Ibunya Risa mulai curiga karena mendapati anaknya sering tertawa sendiri dan seolah-olah bermain-main dengan banyak teman, padahal Elly hanya melihatnya bermain sendiri. Elly mencari jalan agar memisahkan Risa dari teman-temannya yang ternyata hantu. Sampai suatu malam, ibunya pulang dengan seorang paranormal dan dia membuka mata batinnya. Risa kecil akhirnya melihat teman-temannya dalam bentuk sejati mereka. Dengan terpaksa, Risa pergi dari rumah neneknya dan berpisah dengan ‘teman-temannya’ itu.
Setelah 9 tahun kemudian, Risa harus kembali ke rumah tersebut untuk menjaga neneknya bersama adiknya, Riri. Kejadian-kejadian aneh dan gangguan roh halus mulai terjadi lagi. Puncaknya ketika Riri tiba-tiba menghilang. Risa harus menyelamatkan Riri dari hantu jahat yang berencana akan membawa adiknya ke dunia lain.

https://sinopsisfilmbioskopterbaru.com/danur-2017

TEORI PSIKOLOGI :

Kebanyakan anak kecil memainkan permainan pura-pura dan berinteraksi dengan barang, hewan, boneka dan mainan khusus seakan-akan mereka nyata. Merujuk pada Marjorie Taylor dan kolega (2009) di Universitas Oregon , pada usia 7 tahun, sekitar 37 % anak-anak melakukan permainan imajinatif selangkah lebih jauh dan menciptakan teman khayalan.

Keragaman bentuk dari teman khayalan tersebut tergantung pada daya imajinasi si anak.  Gleason dan kolega (2000) menunjukkan sebuah contoh dari penelitiannya terhadap teman yang tak terlihat itu.

- Star Friends and Heart Fan Club : kelompok manusia berusia pre-school dimana mereka memiliki tanggal lahir, pergi ke pameran, dan berbicara bahasa yang disebut “Hobotchi”

- Mendengar Sapi : Sapi dengan banyak warna dan ukuran yang bervariasi yang sering diberi makan atau memakai popok seperti bayi. Diketemukan ketika ayah si anak tidak sengaja menginjak salah satunya

- Mungkin : Manusia dari berbagai gender yang dipanggil secara rutin oleh si anak dengan berteriak keluar dari pintu depan

Dari deskripsi tersebut dapat dilihat bahwa teman khayalan bisa berbentuk manusia, hewan atau makhluk fantasi. Mereka dapat muncul sendiri atau berkelompok. Anak laki-laki cenderung untuk menemukan teman imajiner laki-laki saja, sedangkan anak perempuan dapat menemukan baik teman imajiner laki-laki maupun perempuan.

Anak dengan teman khayalan dapat menggambarkan rupa dari teman imajinernya tersebut dan bagaimana mereka bertingkah laku. Banyak anak bahkan dapat menjelaskan secara detil mengenai pendengaran dan sentuhan dari teman khayalannya tersebut. Teman khayalan kadangkala menjadi bagian hidup sang anak- dan keluarganya- selama bertahun-tahun.

Taylor dan kolega (2009) menemukan bahwa anak-anak yang menciptakan seorang teman yang tidak terkait dengan objek pribadi cenderung memiliki hubungan seperti dengan orang tua terhadap teman main khususnya, sedangkan anak dengan teman khayalan cenderung membayangkan hubungan sama-rata, lebih seperti kepada teman nyata

Seperti teman nyata, teman tak tampak tidak selalu dapat diajak bekerja sama. Taylor dan kolega (2009) menemukan bahwa sekitar 1/3 anak dengan teman khayalan menyatakan bahwa teman khayalan mereka tidak selalu datang ketika dipanggil, tidak pergi ketika diminta, berbicara terlalu keras, tidak berbagi, atau melakukan sesuatu yang menyebalkan seperti “menaruh yogurt di atas rambutku”

Anak-anak secara jelas mengalami interaksi dengan teman khayalannya, namun kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa sebenarnya teman tersebut tak nyata. Merujuk pada transkrip wawancara dari 86 anak yang memiliki teman khayalan, Taylor dan kolega (2009) menemukan bahwa 77 % dari anak-anak tersebut menjawab “ya” ketika ditanya apakah mereka memiliki teman khayalan, dan 40 % secara spontan mengatakan di beberapa titik selama wawancara bahwa mereka berbicara tentang teman khayalan. Anak-anak tersebut menyatakan beberapa hal seperti “Dia adalah hewan pura-pura”, “Saya hanya membuatnya dalam otak saya”, dan “Dia tidak ada dalam kehidupan nyata”. Hanya satu orang anak yang bersikeras bahwa teman khayalannya adalah nyata.

Secara mengejutkan, teman khayalan tidak begitu saja hilang seiring masa kecil berakhir. Satu studi yang meneliti diari remaja ditambah dengan data kuesioner menyimpulkan bahwa remaja yang kompeten secara sosial dan kreatif lebih sering menciptakan teman khayalan dan tipe teman seperti itu tidak menggantikan hubungan dengan orang nyata. Penulis fiksi dewasa sering membicarakan tentang karakter mereka yang diambil dari kehidupan mereka sendiri, yang merupakan proses analogi dari teman khayalan masa kecil 

Sepertinya logis bila anak yang menciptakan teman khayalan mungkin merasa kesepian atau memiliki masalah sosial, namun penelitian tidak mendukung asumsi tersebut. Kenyataannya, dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki teman khayalan, anak yang memiliki teman khayalan (baik yang tidak nampak maupun objek personal) cenderung bukan pemalu, lebih banyak tertawa dan tersenyum dengan kelompok temannya, dan melakukan lebih baik tugas yang terkait dengan membayangkan bagaimana pemikiran orang lain.

Anak yang lebih tua, anak tunggal dan anak yang tidak banyak menonton televisi lebih mungkin menciptakan teman imajiner. Hal ini mungkin merefleksikan kesempatan. Anak-anak membutuhkan waktu sendiri yang tidak terstruktur untuk mampu menemukan teman imajiner.

Memiliki teman imajiner bukan merupakan bukti bahwa seorang anak bermasalah. Bagaimanapun, teman imajiner bisa menjadi sumber kenyamanan ketika si anak mengalami kesulitan. Terdapat banyak studi kasus tentang anak-anak yang menemukan bahwa teman imajiner dapat membantu mereka mengatasi pengalaman traumatis. Sebuah studi berdasarkan interview pada siswa SMP yang memiliki resiko tinggi untuk mengembangkan masalah tingkah laku menemukan bahwa memiliki teman imajiner berasosiasi dengan strategi dalam mengatasi masalah yang lebh baik namun preferensi sosial dengan kelompok teman lebih rendah. Bagaimanapun, pada akhir SMA, anak-anak yang memiliki resiko tinggi itu yang ketika SMP memiliki teman imajiner, menunjukkan penyesuaian yang lebih baik pada beberapa pengukuran.

Pada tingkat yang biasa, anak-anak dengan teman imajiner kadang-kadang menyalahkan mereka untuk kenakalan dalam usahanya menghindari ketidaksenangan orang tua. Teman imajiner dapat membantu anak untuk mengatasi rasa takut, megeksplor ide, atau mengumpulkan rasa keberdayaan melalui proses belajar dari mengurus teman imajiner.  

 TEORI PSEUDOSAINS : 
Pseudosains dapat dikatakan sebagai ilmu semu, dimana konsep dan teori yang diungkapkan dengan bahasa teori ilmiah namun  teori tersebut tidak atau belum dapat dibuktikan secara empiris. 

Beberapa orang yang mencermati terdapat keanehan dan keunikan dalam tampilan teman fantasi tersebut. Sebagian orang yang pernah mengalami sendiri dan sering menyaksikan banyak kasus anak tersebut percaya bahwa hal tersebut adalah kemampuan lebih yang tidak dimiliki anak lainnya untuk melihat sesuatu alam lain. 

Keyakinan dari kelompok orang tersebut sering disebut sebagai Pseudosains. Para ahli ilmiah sering menyebutkan alam bawah sadar, tetapi kalangan Pseudosains mengatakan bahwa hal tersebut dalam alam lain yang tidak semua orang bisa melihatnya. Menurut pseudosains, bentuk transformasi manusia yag berevolusi memiliki kemampuan paranormal. Dalam menilai dan menginterpretasi anak yang mempunyai kelebihan atau sebagian orang menyebutnya Indigo, sangat luas dan bias bila ditinjau dari berbagai latar belakang keilmuan. Hal ini akan terjadi perbedaan pandang, perdebatan dan kontroversi yang luas bila bidang pseudosains itu dibicarakan dalam bidang ilmiah. 



Gleason, T. R., Sebanc, A. M., & Hartup, W. W. (2000). Imaginary companions of preschool children. Developmental Psychology 36, 419-428.

Taylor, M., Shawber, A. B., & Mannering, A. M. (2009). Children’s imaginary companions: What is it like to have an invisible friend?  In K. D Markman, W. M. P. Klein, & J. A. Suhr (Eds.), Handbook of imagination and mental simulation (pp. 211-224). NY: Psychology Press.

Judarwanto, Widodo (2013, 5 September). Anak dengan Teman Fantasi Normalkah?. diakses 2017, 7 April dari http://lifestyle.kompas.com/read/2013/09/05/1502126/Anak.dengan.Teman.Fantasi.Normalkah. 

ANALISIS :

Terlepas dari film ini yang memang tergolong film horor dan mungkin akan lebih cocok bila dilihat dari sudut pandang pseudosains, dimana dapat dikatakan bahwa Risa merupakan anak Indigo yang memiliki keistimewaan khususnya dalam melihat makhluk dari alam lain, ulasan ini kemudian akan memperlihatkan perbedaan sudut pandang dari sisi Psikologi. 


Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa munculnya teman khayalan pada kebanyakan anak adalah pada usia 7 tahun dimana kebanyakan anak kecil mulai memainkan permainan pura-pura dan berinteraksi dengan barang, hewan, boneka dan mainan khusus seakan-akan mereka nyata. Hal ini sesuai dengan usia Raisa yang pada waktu itu berumur 8 tahun. Namun, satu hal yang berbeda, diceritakan bahwa Risa adalah seorang anak kecil yang kesepian dan meminta teman kemudian muncullah ketiga teman khayalannya tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang telah disebutkan dimana ternyata dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki teman khayalan, anak yang memiliki teman khayalan cenderung bukan pemalu, lebih banyak tertawa dan tersenyum dengan kelompok temannya, dan melakukan lebih baik tugas yang terkait dengan membayangkan bagaimana pemikiran orang lain. Jadi, tercipatanya teman khayalan bukan merupakan bukti bahwa seorang anak bermasalah, melainkan karena tingkat imajinasi yang tinggi. Bagaimanapun, teman imajiner dapat menjadi sumber kenyamanan ketika mengalami kesulitan dan dapat membantu untuk mengatasi pengalaman traumatis. Hal ini bisa menjadi diskusi.


Risa menggambarkan teman khayalannya itu sebagai 3 anak lelaki Belanda bernama Peter, William dan Janshen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa keragaman bentuk dari teman khayalan tersebut tergantung pada daya imajinasi si anak. Teman khayalan bisa bebentuk manusia seperti yang digambarkan Risa. Tidak hanya dapat menggambarkan rupa mereka (orang Belanda), namun Risa juga dapat menggambarkan bagaimana mereka bertingkah laku (ketika ditemukan, mereka sedang bermain petak umpet di lemari nenek Risa). Risa membayangkan hubungannya dengan ketiga teman khayalannya tersebut sebagai hubungan sama-rata, lebih kepada teman nyata dimana mereka bisa bermain bersama dan melakukan hal lain bersama.  Teman khayalan sendiri tidak begitu saja hilang seiring masa kecil berakhir. Hal ini juga terjadi pada Risa yang kemudian meski sudah sempat “meninggalkan” teman-teman khayalannya, ketika remaja ia bertemu kembali dengan teman-teman khayalannya tersebut. Dalam film diceritakan, Risa harus tinggal kembali di rumah neneknya dan kemudian harus mengalami satu masalah.

Satu hal yang mungkin dapat membedakan antara teman imajiner sebagai sesuatu yang dianggap wajar dalam ilmu Psikologi dan sesuatu yang dianggap sebagai keistimewaan dalam Pseudosains yaitu apakah sang anak menyadari bahwa teman imajinernya memang hanya sebatas khayalan dan bukan kenyataan, karena menurut teori dan penelitian, ditemukan bahwa meskipun anak-anak secara jelas mengalami interaksi dengan teman khayalannya, namun kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa sebenarnya teman tersebut tak nyata. Bagaimanapun, hal ini tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 FIRST DATES (2004) : Sebuah Tinjauan Psikologis mengenai Amnesia Anterograde

PHOBIA MODERN